Adinda Yusril yang Panik
Oleh: Prof Achmad Ali (Guru Besar Ilmu Hukum Unhas, Doktor Hukum Pidana)
Sebagai pakar hukum, saya tidak akan menanggapi tulisan adinda Yusril secara emosional juga. Terlalu banyak argumentasi hukum yang saya miliki untuk ditulis, dan bahkan hanya sebagian yang bisa saya tuangkan dalam tulisan ini, karena keterbatasan ruang.
Kalau tidak membaca bahwa penulisnya bernama Yusril Ihza Mahendra, sungguh-sungguh tulisan di Fajar, Selasa 20 Juli 2010 kemarin, tadinya akan saya pikir tulisan seorang preman, atau paling tidak, seseorang yang sama sekali tidak berpendidikan hukum.
Dan sungguh memprihatinkan, ternyata penulisnya seorang sarjana hukum lulusan Fakultas Hukum UI, Jakarta, meskipun hanya "ansor" (anak sore). Tetapi kemudian saya lagi-lagi memahami bahwa penulisnya adalah bukan Doktor Hukum, melainkan menurut Prof Dr Laica Marzuki, SH, adinda Yusril adalah Doktor Ilmu Politik yang menulis disertasi tentang Partai Masyumi, di salah satu universitas di Malaysia.
Dan lebih bisa saya pahami lagi mengapa tulisan tersebut sangat emosional dan menyerang pribadi saya, bukannya beradu argumentasi hukum, karena penulisnya, adinda Yusril benar-benar sedang panik membayangkan sel yang berjeruji yang semakin mendekatinya.
Benarkah saya tidak paham tentang kasus korupsi Sisminbakum itu? Agar objektifnya saya mengutip saja sebagian dari apa yang dimuat Majalah Tempo, edisi Minggu 11 Juli 2010.
Menurut Tempo, kasus yang membelit Yusril Ihza Mahendra, sang mantan Menteri Hukum dan HAM itu dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung RI, bukan oleh Jaksa Agung RI (sebagai orang yang pernah belajar hukum, harus dapat membedakan institusi dan sosok pejabatnya), adalah Proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang oleh Tempo (halaman 110 edisi 11 Juli 2010) dinamakan "Sarana Rampok Duit".
Bagaimana ceritanya? Lebih baik saya mengutip saja apa yang ditulis oleh Majalah Tempo (halaman 110 edisi 11 Juli 2010) yang telah menelusurinya lebih mendalam. Menurut Tempo tersebut: “John Sarodja, … memang otak Sistem Administrasi ini.
Dialah yang merancang bagaimana sistem itu bekerja-dengan teknologi internet-sehingga membuat notaris di pelosok mana pun bisa mengaksesnya, tanpa harus ke Jakarta dan antre di Departemen Kehakiman seperti terjadi selama itu. Adalah Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita yang meminta John pada pertengahan 2000, menciptakan teknologi itu untuk direktoratnya.
John memang kemudian dimanfaatkan PT Sarana. Perusahaan yang saham mayoritasnya dipunyai Bhakti Asset Management –antara lain dimiliki Bhakti Investama, perusahaan Hary Tanoesoedibjo– itu ditunjuk Menteri Yusril untuk mengelola proyek tersebut.
John tetap diminta menyelesaikan sistem itu dengan upah sekitar Rp 500 juta. Setelah proyek rampung, John "ditendang keluar". Adapun anak buahnya, sekitar 20 orang, "dibajak" PT Sarana untuk mengoperasikan Sisminbakum.
Proyek inilah yang kemudian oleh Kejaksaan Agung dituding sarat korupsi. Kejaksaan menghitung uang yang dikeruk dari notaries-jumlahnya sekitar 6.000 orang-dan masuk rekening SRD sepanjang tahun 2000 hingga 2008 tak kurang dari Rp 420 miliar.
Sepuluh persen dari jumlah itu masuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman, dan kemudian disalurkan lagi, antara lain untuk "jatah tetap" sejumlah petinggi departemen. Tiga bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah diadili dalam kasus ini.
Demikian pula Direktur Utama PT Sarana, Yohanes Waworuntu. "Uang itu seharusnya masuk kas negara negara, bukan swasta," kata Arminsyah.
Nama Yusril dan Hartono, pada awal 2009, sudah masuk daftar tersangka. "Saat itu sudah dilakukan gelar perkara di depan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus," ujarnya.
Kesalahan Yusril terang benderang. Selain mengeluarkan surat keputusan pemberlakuan Sisminbakum, dia menerbitkan surat keputusan penunjukan Sarana -dan Koperasi Pengayoman– sebagai pengelola Sisminbakum.
Dua SK itu dikeluarkan masing-masing pada 4 dan 10 Oktober 2000. Di luar itu, setumpuk bukti lain juga ditemukan jaksa. Yusril pernah memakai duit itu untuk sangu perjalanannya ke luar negeri antara lain ke Malaysia. Fulus itu juga pernah mengalir ke rekening -kini mantan-istrinya , Sukesih.
Apapun argumentasinya, tampaknya perjuangan Yusril sia-sia. Kejaksaan sudah menyiapkan sejumlah dalil untuk mematahkan "perlawanan" Yusril.
Alasan-alasan bukan duit negara juga bakal disikat. Bagi kejaksaan, yang dipungut itu jelas uang publik, dan seharusnya masuk kas negara. "Sisminbakum itu memakai kop Departemen Kehakiman, menggunakan kekuasaan negara untuk mengambil pungutan, tapi uangnya masuk swasta, itu pelanggaran," kata Reda, jaksa. Dan seterusnya… Demikian kutipan dari Majalah Tempo.
Kemudian yang sangat perlu saya luruskan pendapat adinda Yusril yang "anarkhis" (tidak mau mengakui hukum yang berlaku) dan "tirani", adalah karena menyayangkan saya kenapa masih mau tunduk kepada sistem penegakan hukum di Indonesia yang sudah usang.
Alangkah tragisnya kalau pembaca Fajar mengikuti cara berpikiran adinda Yusril yang mengimbau kita semua untuk melawan hukum yang berlaku. Bukankah Indonesia adalah Negara Hukum, yang harus menjadikan hukum sebagai "panglima"? Sangat tepat kalimat bijak seorang filsuf hukum yang mengatakan, bagi seorang penjahat, aturan hukum yang berlaku terhadap kejahatannya tidak diakuinya dan akan dilawannya.
Mudah-mudahan adinda Yusril tidak termasuk di dalamnya. Dan bukankah konstitusi kita UUD 1945 yang merupakan hukum tertinggi di negara ini, dalam Aturan Peralihan menegaskan: Segala badan negara dan ketentuan perundang-undangan yang ada sebelum adanya UUD ini, tetap berlaku sehingga ada yang baru menggantikannya.
Saya yakin, siswa SMP dan SMApun sudah tahu hal ini. Jadi sangat perlu dikasihani, jika adinda Yusril yang selalu mengaku-aku "pakar HTN", tidak memahaminya. Dan ajaran Islam mengajarkan: "hukum yang zalim, masih lebih baik ketimbang tidak ada hukum sama sekali". Apalagi menurut saya, UUD 1945, KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hukum zalim.
Memberantas dan melawan koruptor, sama sekali bukan kezaliman, tetapi keharusan yang diperintahkan Allah swt. Memang akan sangat berat nantinya adinda Yusril untuk menyanggah di persidangan pengadilan, bahwa proyek Sisminbakum bukan korupsi, karena mantan anak buahnya yang terbelit kasus yang sama sudah "masuk" semua.
Antara lain kita lihat kronologisnya: 7 September 2009: Romli Atmasasmita divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 tahun penjara. 28 Oktober 2009: Yohanes Waworontu, Direktur Utama PT Sarana Rekatama divonis PN Jakarta Selatan 4 tahun penjara. 24 Juni 2010: Hartono Tanoesoedibjo meninggalkan Indonesia ke Taiwan.
Kejaksaan menetapkan Yusril dan Hartono sebagai tersangka. 25 Juni 2010: Kejaksaan mengeluarkan surat perintah pencekalan terhadap Yusril dan Hartono.
Menurut Tempo, 1 Juli 2010, halaman 116: Dana Sisminbakum mengalir ke mana-mana, yaitu Notaris mengakses Sisminbakum online, mengalirnya: Rekening PT Sarana melalui Bank Danamon Cabang GKBI, Sudirman.
Rekening PT Sarana, melalui Bank Danamon Cabang Kebon Sirih. Ke sejumlah rekening di Singapura. Ke Bhakti Investama. Ke Harian Seputar Indonesia. Ke Adam Air, dan ke pembelian property.
Benarkah makian adinda Yusril terhadap diri saya seakan goblok, karena tidak mengetahui bahwa bukan penyidik yang menetapkan tersangka, melainkan Jaksa Agung? Kecuali jika adinda Yusril membuat ketentuan sendiri, maka secara tegas Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP menentukan bahwa penyidik yang berwenang menetapkan seseorang menjadi tersangka, memanggil tersangka, kalau perlu menahan tersangka.
Makanya, sangat saya sayangkan karena adinda Yusril bukannya mempersiapkan diri dengan argumentasi hukum dan bukti-bukti perlawanan dalam menghadapi proses Criminal Justice System, malah "berjuang" mengalihkan isu ke isu tidak legalnya kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, dan sekarang menggugat Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dengan menyoal UU Kejaksaan.
Sekalipun menurut Prof Dr Laica Marzuki, konon adinda Yusril Ihza Mahendra adalah Doktor di bidang Ilmu Politik dari salah satu universitas di Malaysia, tampaknya sekali ini Yusril gagal untuk mempolitisasi jeratan dugaan korupsi Sisminbakum yang menjeratnya.
SC Yuter mengatakan: Law is the backbone which keeps man erect (hukum adalah tulang punggung yang menjaga agar setiap orang tegak. John Locke mengatakan: Where-ever Law ends, Tyranny begins (Kapan hukum berakhir, maka di situlah muncul tirani). Dan "The laws sometimes sleep, but never die" (hukum kadang-kadang tertidur, tetapi tidak pernah mati).
Akhirnya saya ingin mengingatkan adinda Yusril yang konon Magisternya (S2) di bidang Hukum Islam (bukan HTN), bahwa koruptor adalah termasuk pembuat kerusakan di bumi. Surah al- Ma'idah (5): 33, bahwa pelaku kerusakan di bumi,
hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang berat. (*)
Kalau tidak membaca bahwa penulisnya bernama Yusril Ihza Mahendra, sungguh-sungguh tulisan di Fajar, Selasa 20 Juli 2010 kemarin, tadinya akan saya pikir tulisan seorang preman, atau paling tidak, seseorang yang sama sekali tidak berpendidikan hukum.
Dan sungguh memprihatinkan, ternyata penulisnya seorang sarjana hukum lulusan Fakultas Hukum UI, Jakarta, meskipun hanya "ansor" (anak sore). Tetapi kemudian saya lagi-lagi memahami bahwa penulisnya adalah bukan Doktor Hukum, melainkan menurut Prof Dr Laica Marzuki, SH, adinda Yusril adalah Doktor Ilmu Politik yang menulis disertasi tentang Partai Masyumi, di salah satu universitas di Malaysia.
Dan lebih bisa saya pahami lagi mengapa tulisan tersebut sangat emosional dan menyerang pribadi saya, bukannya beradu argumentasi hukum, karena penulisnya, adinda Yusril benar-benar sedang panik membayangkan sel yang berjeruji yang semakin mendekatinya.
Benarkah saya tidak paham tentang kasus korupsi Sisminbakum itu? Agar objektifnya saya mengutip saja sebagian dari apa yang dimuat Majalah Tempo, edisi Minggu 11 Juli 2010.
Menurut Tempo, kasus yang membelit Yusril Ihza Mahendra, sang mantan Menteri Hukum dan HAM itu dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung RI, bukan oleh Jaksa Agung RI (sebagai orang yang pernah belajar hukum, harus dapat membedakan institusi dan sosok pejabatnya), adalah Proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang oleh Tempo (halaman 110 edisi 11 Juli 2010) dinamakan "Sarana Rampok Duit".
Bagaimana ceritanya? Lebih baik saya mengutip saja apa yang ditulis oleh Majalah Tempo (halaman 110 edisi 11 Juli 2010) yang telah menelusurinya lebih mendalam. Menurut Tempo tersebut: “John Sarodja, … memang otak Sistem Administrasi ini.
Dialah yang merancang bagaimana sistem itu bekerja-dengan teknologi internet-sehingga membuat notaris di pelosok mana pun bisa mengaksesnya, tanpa harus ke Jakarta dan antre di Departemen Kehakiman seperti terjadi selama itu. Adalah Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita yang meminta John pada pertengahan 2000, menciptakan teknologi itu untuk direktoratnya.
John memang kemudian dimanfaatkan PT Sarana. Perusahaan yang saham mayoritasnya dipunyai Bhakti Asset Management –antara lain dimiliki Bhakti Investama, perusahaan Hary Tanoesoedibjo– itu ditunjuk Menteri Yusril untuk mengelola proyek tersebut.
John tetap diminta menyelesaikan sistem itu dengan upah sekitar Rp 500 juta. Setelah proyek rampung, John "ditendang keluar". Adapun anak buahnya, sekitar 20 orang, "dibajak" PT Sarana untuk mengoperasikan Sisminbakum.
Proyek inilah yang kemudian oleh Kejaksaan Agung dituding sarat korupsi. Kejaksaan menghitung uang yang dikeruk dari notaries-jumlahnya sekitar 6.000 orang-dan masuk rekening SRD sepanjang tahun 2000 hingga 2008 tak kurang dari Rp 420 miliar.
Sepuluh persen dari jumlah itu masuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman, dan kemudian disalurkan lagi, antara lain untuk "jatah tetap" sejumlah petinggi departemen. Tiga bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah diadili dalam kasus ini.
Demikian pula Direktur Utama PT Sarana, Yohanes Waworuntu. "Uang itu seharusnya masuk kas negara negara, bukan swasta," kata Arminsyah.
Nama Yusril dan Hartono, pada awal 2009, sudah masuk daftar tersangka. "Saat itu sudah dilakukan gelar perkara di depan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus," ujarnya.
Kesalahan Yusril terang benderang. Selain mengeluarkan surat keputusan pemberlakuan Sisminbakum, dia menerbitkan surat keputusan penunjukan Sarana -dan Koperasi Pengayoman– sebagai pengelola Sisminbakum.
Dua SK itu dikeluarkan masing-masing pada 4 dan 10 Oktober 2000. Di luar itu, setumpuk bukti lain juga ditemukan jaksa. Yusril pernah memakai duit itu untuk sangu perjalanannya ke luar negeri antara lain ke Malaysia. Fulus itu juga pernah mengalir ke rekening -kini mantan-istrinya , Sukesih.
Apapun argumentasinya, tampaknya perjuangan Yusril sia-sia. Kejaksaan sudah menyiapkan sejumlah dalil untuk mematahkan "perlawanan" Yusril.
Alasan-alasan bukan duit negara juga bakal disikat. Bagi kejaksaan, yang dipungut itu jelas uang publik, dan seharusnya masuk kas negara. "Sisminbakum itu memakai kop Departemen Kehakiman, menggunakan kekuasaan negara untuk mengambil pungutan, tapi uangnya masuk swasta, itu pelanggaran," kata Reda, jaksa. Dan seterusnya… Demikian kutipan dari Majalah Tempo.
Kemudian yang sangat perlu saya luruskan pendapat adinda Yusril yang "anarkhis" (tidak mau mengakui hukum yang berlaku) dan "tirani", adalah karena menyayangkan saya kenapa masih mau tunduk kepada sistem penegakan hukum di Indonesia yang sudah usang.
Alangkah tragisnya kalau pembaca Fajar mengikuti cara berpikiran adinda Yusril yang mengimbau kita semua untuk melawan hukum yang berlaku. Bukankah Indonesia adalah Negara Hukum, yang harus menjadikan hukum sebagai "panglima"? Sangat tepat kalimat bijak seorang filsuf hukum yang mengatakan, bagi seorang penjahat, aturan hukum yang berlaku terhadap kejahatannya tidak diakuinya dan akan dilawannya.
Mudah-mudahan adinda Yusril tidak termasuk di dalamnya. Dan bukankah konstitusi kita UUD 1945 yang merupakan hukum tertinggi di negara ini, dalam Aturan Peralihan menegaskan: Segala badan negara dan ketentuan perundang-undangan yang ada sebelum adanya UUD ini, tetap berlaku sehingga ada yang baru menggantikannya.
Saya yakin, siswa SMP dan SMApun sudah tahu hal ini. Jadi sangat perlu dikasihani, jika adinda Yusril yang selalu mengaku-aku "pakar HTN", tidak memahaminya. Dan ajaran Islam mengajarkan: "hukum yang zalim, masih lebih baik ketimbang tidak ada hukum sama sekali". Apalagi menurut saya, UUD 1945, KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hukum zalim.
Memberantas dan melawan koruptor, sama sekali bukan kezaliman, tetapi keharusan yang diperintahkan Allah swt. Memang akan sangat berat nantinya adinda Yusril untuk menyanggah di persidangan pengadilan, bahwa proyek Sisminbakum bukan korupsi, karena mantan anak buahnya yang terbelit kasus yang sama sudah "masuk" semua.
Antara lain kita lihat kronologisnya: 7 September 2009: Romli Atmasasmita divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 tahun penjara. 28 Oktober 2009: Yohanes Waworontu, Direktur Utama PT Sarana Rekatama divonis PN Jakarta Selatan 4 tahun penjara. 24 Juni 2010: Hartono Tanoesoedibjo meninggalkan Indonesia ke Taiwan.
Kejaksaan menetapkan Yusril dan Hartono sebagai tersangka. 25 Juni 2010: Kejaksaan mengeluarkan surat perintah pencekalan terhadap Yusril dan Hartono.
Menurut Tempo, 1 Juli 2010, halaman 116: Dana Sisminbakum mengalir ke mana-mana, yaitu Notaris mengakses Sisminbakum online, mengalirnya: Rekening PT Sarana melalui Bank Danamon Cabang GKBI, Sudirman.
Rekening PT Sarana, melalui Bank Danamon Cabang Kebon Sirih. Ke sejumlah rekening di Singapura. Ke Bhakti Investama. Ke Harian Seputar Indonesia. Ke Adam Air, dan ke pembelian property.
Benarkah makian adinda Yusril terhadap diri saya seakan goblok, karena tidak mengetahui bahwa bukan penyidik yang menetapkan tersangka, melainkan Jaksa Agung? Kecuali jika adinda Yusril membuat ketentuan sendiri, maka secara tegas Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP menentukan bahwa penyidik yang berwenang menetapkan seseorang menjadi tersangka, memanggil tersangka, kalau perlu menahan tersangka.
Makanya, sangat saya sayangkan karena adinda Yusril bukannya mempersiapkan diri dengan argumentasi hukum dan bukti-bukti perlawanan dalam menghadapi proses Criminal Justice System, malah "berjuang" mengalihkan isu ke isu tidak legalnya kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, dan sekarang menggugat Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dengan menyoal UU Kejaksaan.
Sekalipun menurut Prof Dr Laica Marzuki, konon adinda Yusril Ihza Mahendra adalah Doktor di bidang Ilmu Politik dari salah satu universitas di Malaysia, tampaknya sekali ini Yusril gagal untuk mempolitisasi jeratan dugaan korupsi Sisminbakum yang menjeratnya.
SC Yuter mengatakan: Law is the backbone which keeps man erect (hukum adalah tulang punggung yang menjaga agar setiap orang tegak. John Locke mengatakan: Where-ever Law ends, Tyranny begins (Kapan hukum berakhir, maka di situlah muncul tirani). Dan "The laws sometimes sleep, but never die" (hukum kadang-kadang tertidur, tetapi tidak pernah mati).
Akhirnya saya ingin mengingatkan adinda Yusril yang konon Magisternya (S2) di bidang Hukum Islam (bukan HTN), bahwa koruptor adalah termasuk pembuat kerusakan di bumi. Surah al- Ma'idah (5): 33, bahwa pelaku kerusakan di bumi,
hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang berat. (*)
Siapa yang Panik?
Oleh: Yusril Ihza Mahendra (Mantan Menkeh HAM)
Jika pembaca Fajar menyimak tulisan saya dan bantahan Achmad Ali kemarin, maka merekalah yang akhirnya akan menilai, siapakah yang panik: saya atau Achmad Ali? Beliau selama ini memang telah sering menyindir-nyindir dan bahkan menyerang orang lain seenaknya dalam berbagai kesempatan.
Mungkin baru sekali ini, ada orang yang "segila" saya yang tak bergeming sedikitpun dengan kemahsyuran nama Achmad Ali, untuk menyerang balik pendapatnya.
Kalau kita menyimak dengan seksama perlawanan saya terhadap Jaksa Agung Hendarman yang saya anggap tidak sah itu, sesungguhnya saya belumlah memasuki substansi permasalahan sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada saya. Achmad mulai masuk ke substansi ini, walau saya belum menyinggungnya.
Argumentasi saya tentang ketidaksahan Jaksa Agung Hendarman, tidak mendapat tempat dalam tulisan Achmad Ali. Demikian pula ketika beliau hadir di TVOne, beliau bicara masalah sikap saya yang konon disayangkannya.
Saya tak berselera menanggapi omongannya, yang keluar dari topik mengenai sah atau tidak sahnya Jaksa Agung, yang menjadi topik utama diskusi malam itu. Achmad Ali merasa memahami hal ikhwal "korupsi Sisminbakum" dan "agar objektifnya" beliau mengutip berita Majalah Tempo.
Mengutip Tempo dan menganggap pengetahuan yang dikutip dari majalah itu adalah "objektif" adalah suatu hal yang menggelikan. Achmad Ali sepertinya tidak memahami politik media dengan berbagai kepentingan bisnis dan politik yang bermain di belakangnya.
Dalam metodologi penelitian, berita media adalah "secondary source" yang harus dicrosscheck kepada sumber-sumbernya yang awal. Orang harus kritis kepada pemberitaan media, yang tidak jarang penuh bias dan interpretasi terhadap data dan hasil wawancara.
Analog dengan belajar ilmu hadis, berita majalah baik matan maupun perawinya, harus ditelaah dengan kritis, agar kita seperti dikatakan Alquran, tidak dengan mudah menimpakan kezaliman kepada seseorang, tanpa tabayyun tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Sepanjang hidup saya, berkali-kali Tempo menuduh saya yang bukan-bukan, namun tidak satupun terbukti di pengadilan. Bahkan ketika perkara uang Tommy Suharto yang menggegerkan dan dipublikasikan Tempo secara bombastis itu diperiksa dan diputus pengadilan Inggris, ternyata saya tak melakukan kesalahan apapun. Saya hanya menjadi korban pemberitaan dan menjadi korban "trial by the court".
Saya tak ingin menangkis terlalu jauh apa yang diberitakan Tempo dalam kasus Sisminbakum. Jauh sebelum perkara ini dilimpahkan ke pengadilan, penyidik Kejaksaan Agung, Faried Harjanto, telah sesumbar membocorkan berita ke media, bahwa "Yusril sekali ini tidak berkutik lagi. Bukti-bukti sudah lengkap termasuk tiga kuitansi, yang juga diterima mantan istrinya".
Saya penasaran betul dengan tiga kuitansi itu, dan setelah saya melihatnya dengan mata kepala di Kejaksaan Agung, kuitansi itu ternyata hanyalah kuitansi yang dapat dibeli di warung. Di situ tertera, "Telah terima dari Dirjen AHU, uang sejumlah lima juta rupiah, untuk biaya perjalanan menteri ke Afrika Selatan".Ada tanda tangan, entah tanda tangan siapa karena tidak ada nama jelasnya. Masih ada dua kuitansi lagi, yang berjumlah tiga juta rupiah, yang disebut telah diterima mantan istri saya, untuk biaya perjalanan ke luar negeri. Hal-hal seperti ini semua sudah diklarifikasi dan disanggah dalam sidang-sidang Prof. Romly, Samsudin Sinaga dan Zulkarnain Yunus. Biarlah nanti saya membantahnya sekali lagi kalau saya disidangkan di pengadilan.
Sejak awal, kami telah menengarai Sisminbakum adalah kasus yang sengaja "dikasuskan" oleh berbagai kepentingan. Tahun 2006, Sisminbakum pernah dilaporkan orang ke KPK. Namun setelah mereka dalami, mereka tak mau meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan, karena BPK tidak pernah melaporkan ada penyimpangan.
BPKP juga tak mau mengeluarkan pendapat bahwa dalam kasus ini ada unsur kerugian negaranya. Tahun 2008, kasus ini dilaporkan lagi ke Kejaksaan Agung, dan kali ini mereka begitu antusias mengangkatnya ke permukaan, dengan dalih "untuk mengangkat citra kejaksaan yang sedang terpuruk" setelah beberapa petingginya dilengserkan karena terlibat dalam praktik mafia hukum.
Prof Romly dan penasihat hukumnya sekali lagi minta Kejaksaan Agung agar meminta BPKP melakukan audit investigasi terhadap Sisminbakum. Akhirnya ini mereka lakukan. Namun audit investigasi BPKP menyatakan "tidak dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi kerugian negara atau tidak". Kalau mengikuti prosedur yang normal dalam penyidikan perkara korupsi, maka kasus ini mestinya telah dihentikan.
Tetapi yang mereka lakukan malah melakukan propaganda membentuk publik pini. Aparat Kejaksaan Agung kemudian gembar-gembor memberitakan bahwa dalam kasus Sisminbakum ini, saya, Romly dan lainnya, semua terlibat dalam komplotan "merampok uang negara 420 miliar".
Uang sejumlah ini adalah hitungan jaksa sendiri, bukan hitungan auditor. Sejak kapan jaksa mempunyai otoritas mengaudit? Penyidik tidak boleh menyebarluaskan data dan hasil pemeriksaan mereka, tetapi propaganda ini telah meluas kemana-mana.
Namun kasus ini toh tetap saja dilimpahkan ke pengadilan dengan segala macam bukti, bahkan bukti rekayasa termasuk pemalsuan surat-surat yang dialami terdakwa Prof. Romly. Dalam suasana seperti sekarang, ketika kasus korupsi telah hampir menyamai kasus subversi di zaman Orde Baru, akan sulit mengharapkan adanya peradilan yang obyektif.
LSM dengan kepentingannya sendiri setiap tahun akan mengumumkan daftar nama "hakim hitam" yang membebaskan perkara korupsi. Hakim-hakim demikian akan segera dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan aneka macam tuduhan. Kenyataan seperti ini membuat saya bertanya,
apakah pengadilan ini dimaksudkan sebagai forum untuk menegakkan keadilan, ataukah forum untuk menghukum seseorang? Inilah hal yang saya katakan kepada Achmad Ali tentang teori Criminal Justice System yang beliau sanjung-sanjung itu. Konsepsi abstrak dalam teori itu, bisa berbeda jauh dalam kenyataan. Menganggap aparatur penegak hukum yang bekerja di dalam sistem itu steril dari berbagai kepentingan, tekanan dan sejenisnya, adalah suatu hal yang naif.
Baiklah kalau Achmad Ali menggunakan Tempo, saya juga dapat mengutip berita Tempo 14 Juni 1999, tentang Faried Harjanto yang menelaah kasus Sisminbakum dan kemudian ditunjuk menjadi Ketua Tim Penyidik Kasus Sismimbakum. Faried Haryanto adalah jaksa penunut umum kasus Marsinah yang menghebohkan seluruh dunia sebagai peradilan sesat itu.
Dalam berita berjudul "Sapu Kotor di Gedung Bundar" itu dikisahkan kembali seorang "jaksa glamour" bernama Faried Harjanto yang menuntut perkara kasus Jakarta Outer Ring Road (JORR), ketika Tutut, putri Presiden Suharto ketika itu terlibat masalah dengan sesama rekannya sendiri.
Ditengarai Tempo, Faried telah menerima sogokan demikian besar untuk mengatur perkara JORR itu. Kami menengarai hubungan kelompok Tutut dengan Faried tetap berlanjut, dan sekali ini ada konflik baru antara putra-putri mantan Presiden Suharto dengan keluarga Tanoesudibyo, terutama terait dengan kepemilikan Tevelisi Pendidikan Indonesia.
PT SRD yang mengelola Sisminbakum yang sahamnya dimiliki keluarga Tanoe mereka anggap sebagai pintu masuk untuk menyerang mereka agar Hary Tanoe bersedia duduk satu meja merundingkan kepemilikan TPI.
Sederet orang sekitar Tutut - sebagian telah kami temui dan minta konfirmasinya -- bermain melalui Faried yang memegang perkara di Kejaksaan Agung. Masalah keterlibatan Faried sebagai dalang mengkriminalkan Sisminbakum kini mulai terungkap ke permukaan. Jamwas Marwan Effrendi juga sudah mengetahui hal ini.
Biar kita tunggu apa langkah mereka menyikapi permainan di balik layar kasus Sisminbakum ini. Semoga saja para pendekar Satgas Mafia Hukum bentukan Presiden SBY, juga mau menyelidiki mafia orang dalam di Kejaksaan Agung itu.
Pihak Tutut mengaku kaget dan terheran-heran, mengapa kasus Sisminbakum akhirnya melibatkan saya dan beberapa mantan pejabat Departemen Kehakiman dan HAM, yang tak ada urusan sedikitpun dengan bisnis keluarga Suharto. Padahal sasaran mereka sebenarnya Hartono Tanoesoedibyo, kakak kandung Harry Tanoesoedibyo yang sekarang menguasai TPI, RCTI dan Bimantara.
Khusus mengenai diri saya, bukan mustahil ada sejumlah agenda politik yang bermain. Mereka tambah terkejut, ketika saya melawan, masalah ini melebar ke mana-mana, sampai ke persoalan keabsahan Jaksa Agung yang berpotensi menampar muka Presiden SBY, sampai desakan yang makin menguat untuk mengadili Wapres Boediono yang diduga terlibat Megaskandal Bank Century, yang berdasarkan audit BPK nyata-nyata merugikan negara 6,7 trilyun.
Achmad Ali boleh saja menuding apa yang saya tuliskan ini hanya bualan kosong belaka untuk mengalihkan persoalan ke persoalan lain. Itu semua terserah beliau. Orang bijak dan berhati lurus akan mendengarkan segala sesuatu dari berbagai sumber, baru mengambil kesimpulan.
Berbeda halnya dengan orang fasik dan penuh kecongkakan, akan selalu menggunakan sumber sepihak yang sesuai dengan hawa nafsunya, karena yang penting bagi mereka bukanlah kebenaran. Tapi bagaimana menunjukkan "kehebatan" diri ke tengah orang banyak, dengan cara semena-mena menyerang dan memojokkan orang lain.
Perkara Sisminbakum belum final, Achmad Ali. Tiga terdakwa, belum ada satupun yang telah inkracht putusannya. Johannes Woworuntu sedang mengajukan PK karena menemukan sejumlah kejanggalan penerapan dan pertimbangan hukum dalam putusan kasasi. Sebaiknya Achmad Ali bersabar dulu, tidak perlu menggebu-gebu menyerang dan memojokkan saya.
Saya tak pernah mengatakan bahwa UUD 45, KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum zalim. Namun, bukan mustahil kezaliman bermain dibalik semua aturan-aturan hukum itu. Saya tak pernah menghasut orang untuk melawan terhadap hukum yang berlaku.
Namun benar, saya mengajari orang untuk melawan penegak hukum yang tidak sah kalau mereka mau menegakkan hukum. Jangan pula anda meremehkan saya karena "akan sangat berat nantinya adinda (sic!) Yusril untuk menyanggah di persidangan pengadilan, bahwa proyek Sisminbakum bukan korupsi".
Saya akan melawan dengan cara saya sendiri dengan bukti-bukti dan argumentasi saya sendiri untuk membantah semua itu. Saya tak perlu belajar dengan Achmad Ali, dan tidak perlu beliau ajari. Saya takan berguru kepada Achmad Ali, yang merengek-rengek supaya dibebaskan dari tahanan, ketika dinyatakan sebagai tersangka korupsi uang PNBP program pascasarjana Unhas dan manipulasi biaya perjalanan dinas (SPPD).
Lebih baik saya mati berdiri daripada membungkuk kepada kezaliman. Saya berkeyakinan bahwa saya tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi yang konon merugikan uang negara sejumlah 420 miliar itu. Untuk itu saya takkan berhenti melawan, sampai suatu ketika segala permainan pat gulipat di belakang kasus ini terkuak ke permukaan. Saya akan berperang melawan kezaliman.
Sungguh keliru, Achmad Ali mengutip Surah Al-Maidah 33 dan mengaitkannya kepada saya, seolah saya koruptor yang melakukan kerusakan di muka bumi yang harus dihukum dengan ayat tersebut. Padahal, ayat itu menyuruh umat Islam untuk berperang melawan mereka yang mendustakan Allah dan RasulNya dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Mereka yang menggunakan mempermainkan isu korupsi, padahal mereka sendiri bejat dan korup, itulah yang harus diperangi berdasarkan Surah Al-Maidah itu. Achmad Ali tega-teganya memutar-balikkan ayat Alquran tanpa memahami asbabun Nuzulnya serta keterangan para mufassir yang mu'tabar mengenai maksud ayat tersebut dalam konteks Hukum Jinayat Islam.
Kalau ayat Alquran saja berani-beraninya diputar balikkan maksudnya oleh Achmad Ali, apalagi hukum duniawi ciptaan manusia. Tentu Achmad Ali dengan lebih enteng memutar-balikkannya untuk memberikan justifikasi kepada keinginan dan hawa-nafsunya sendiri. Na'udzubika min dzalik!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mungkin baru sekali ini, ada orang yang "segila" saya yang tak bergeming sedikitpun dengan kemahsyuran nama Achmad Ali, untuk menyerang balik pendapatnya.
Kalau kita menyimak dengan seksama perlawanan saya terhadap Jaksa Agung Hendarman yang saya anggap tidak sah itu, sesungguhnya saya belumlah memasuki substansi permasalahan sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada saya. Achmad mulai masuk ke substansi ini, walau saya belum menyinggungnya.
Argumentasi saya tentang ketidaksahan Jaksa Agung Hendarman, tidak mendapat tempat dalam tulisan Achmad Ali. Demikian pula ketika beliau hadir di TVOne, beliau bicara masalah sikap saya yang konon disayangkannya.
Saya tak berselera menanggapi omongannya, yang keluar dari topik mengenai sah atau tidak sahnya Jaksa Agung, yang menjadi topik utama diskusi malam itu. Achmad Ali merasa memahami hal ikhwal "korupsi Sisminbakum" dan "agar objektifnya" beliau mengutip berita Majalah Tempo.
Mengutip Tempo dan menganggap pengetahuan yang dikutip dari majalah itu adalah "objektif" adalah suatu hal yang menggelikan. Achmad Ali sepertinya tidak memahami politik media dengan berbagai kepentingan bisnis dan politik yang bermain di belakangnya.
Dalam metodologi penelitian, berita media adalah "secondary source" yang harus dicrosscheck kepada sumber-sumbernya yang awal. Orang harus kritis kepada pemberitaan media, yang tidak jarang penuh bias dan interpretasi terhadap data dan hasil wawancara.
Analog dengan belajar ilmu hadis, berita majalah baik matan maupun perawinya, harus ditelaah dengan kritis, agar kita seperti dikatakan Alquran, tidak dengan mudah menimpakan kezaliman kepada seseorang, tanpa tabayyun tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Sepanjang hidup saya, berkali-kali Tempo menuduh saya yang bukan-bukan, namun tidak satupun terbukti di pengadilan. Bahkan ketika perkara uang Tommy Suharto yang menggegerkan dan dipublikasikan Tempo secara bombastis itu diperiksa dan diputus pengadilan Inggris, ternyata saya tak melakukan kesalahan apapun. Saya hanya menjadi korban pemberitaan dan menjadi korban "trial by the court".
Saya tak ingin menangkis terlalu jauh apa yang diberitakan Tempo dalam kasus Sisminbakum. Jauh sebelum perkara ini dilimpahkan ke pengadilan, penyidik Kejaksaan Agung, Faried Harjanto, telah sesumbar membocorkan berita ke media, bahwa "Yusril sekali ini tidak berkutik lagi. Bukti-bukti sudah lengkap termasuk tiga kuitansi, yang juga diterima mantan istrinya".
Saya penasaran betul dengan tiga kuitansi itu, dan setelah saya melihatnya dengan mata kepala di Kejaksaan Agung, kuitansi itu ternyata hanyalah kuitansi yang dapat dibeli di warung. Di situ tertera, "Telah terima dari Dirjen AHU, uang sejumlah lima juta rupiah, untuk biaya perjalanan menteri ke Afrika Selatan".Ada tanda tangan, entah tanda tangan siapa karena tidak ada nama jelasnya. Masih ada dua kuitansi lagi, yang berjumlah tiga juta rupiah, yang disebut telah diterima mantan istri saya, untuk biaya perjalanan ke luar negeri. Hal-hal seperti ini semua sudah diklarifikasi dan disanggah dalam sidang-sidang Prof. Romly, Samsudin Sinaga dan Zulkarnain Yunus. Biarlah nanti saya membantahnya sekali lagi kalau saya disidangkan di pengadilan.
Sejak awal, kami telah menengarai Sisminbakum adalah kasus yang sengaja "dikasuskan" oleh berbagai kepentingan. Tahun 2006, Sisminbakum pernah dilaporkan orang ke KPK. Namun setelah mereka dalami, mereka tak mau meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan, karena BPK tidak pernah melaporkan ada penyimpangan.
BPKP juga tak mau mengeluarkan pendapat bahwa dalam kasus ini ada unsur kerugian negaranya. Tahun 2008, kasus ini dilaporkan lagi ke Kejaksaan Agung, dan kali ini mereka begitu antusias mengangkatnya ke permukaan, dengan dalih "untuk mengangkat citra kejaksaan yang sedang terpuruk" setelah beberapa petingginya dilengserkan karena terlibat dalam praktik mafia hukum.
Prof Romly dan penasihat hukumnya sekali lagi minta Kejaksaan Agung agar meminta BPKP melakukan audit investigasi terhadap Sisminbakum. Akhirnya ini mereka lakukan. Namun audit investigasi BPKP menyatakan "tidak dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi kerugian negara atau tidak". Kalau mengikuti prosedur yang normal dalam penyidikan perkara korupsi, maka kasus ini mestinya telah dihentikan.
Tetapi yang mereka lakukan malah melakukan propaganda membentuk publik pini. Aparat Kejaksaan Agung kemudian gembar-gembor memberitakan bahwa dalam kasus Sisminbakum ini, saya, Romly dan lainnya, semua terlibat dalam komplotan "merampok uang negara 420 miliar".
Uang sejumlah ini adalah hitungan jaksa sendiri, bukan hitungan auditor. Sejak kapan jaksa mempunyai otoritas mengaudit? Penyidik tidak boleh menyebarluaskan data dan hasil pemeriksaan mereka, tetapi propaganda ini telah meluas kemana-mana.
Namun kasus ini toh tetap saja dilimpahkan ke pengadilan dengan segala macam bukti, bahkan bukti rekayasa termasuk pemalsuan surat-surat yang dialami terdakwa Prof. Romly. Dalam suasana seperti sekarang, ketika kasus korupsi telah hampir menyamai kasus subversi di zaman Orde Baru, akan sulit mengharapkan adanya peradilan yang obyektif.
LSM dengan kepentingannya sendiri setiap tahun akan mengumumkan daftar nama "hakim hitam" yang membebaskan perkara korupsi. Hakim-hakim demikian akan segera dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan aneka macam tuduhan. Kenyataan seperti ini membuat saya bertanya,
apakah pengadilan ini dimaksudkan sebagai forum untuk menegakkan keadilan, ataukah forum untuk menghukum seseorang? Inilah hal yang saya katakan kepada Achmad Ali tentang teori Criminal Justice System yang beliau sanjung-sanjung itu. Konsepsi abstrak dalam teori itu, bisa berbeda jauh dalam kenyataan. Menganggap aparatur penegak hukum yang bekerja di dalam sistem itu steril dari berbagai kepentingan, tekanan dan sejenisnya, adalah suatu hal yang naif.
Baiklah kalau Achmad Ali menggunakan Tempo, saya juga dapat mengutip berita Tempo 14 Juni 1999, tentang Faried Harjanto yang menelaah kasus Sisminbakum dan kemudian ditunjuk menjadi Ketua Tim Penyidik Kasus Sismimbakum. Faried Haryanto adalah jaksa penunut umum kasus Marsinah yang menghebohkan seluruh dunia sebagai peradilan sesat itu.
Dalam berita berjudul "Sapu Kotor di Gedung Bundar" itu dikisahkan kembali seorang "jaksa glamour" bernama Faried Harjanto yang menuntut perkara kasus Jakarta Outer Ring Road (JORR), ketika Tutut, putri Presiden Suharto ketika itu terlibat masalah dengan sesama rekannya sendiri.
Ditengarai Tempo, Faried telah menerima sogokan demikian besar untuk mengatur perkara JORR itu. Kami menengarai hubungan kelompok Tutut dengan Faried tetap berlanjut, dan sekali ini ada konflik baru antara putra-putri mantan Presiden Suharto dengan keluarga Tanoesudibyo, terutama terait dengan kepemilikan Tevelisi Pendidikan Indonesia.
PT SRD yang mengelola Sisminbakum yang sahamnya dimiliki keluarga Tanoe mereka anggap sebagai pintu masuk untuk menyerang mereka agar Hary Tanoe bersedia duduk satu meja merundingkan kepemilikan TPI.
Sederet orang sekitar Tutut - sebagian telah kami temui dan minta konfirmasinya -- bermain melalui Faried yang memegang perkara di Kejaksaan Agung. Masalah keterlibatan Faried sebagai dalang mengkriminalkan Sisminbakum kini mulai terungkap ke permukaan. Jamwas Marwan Effrendi juga sudah mengetahui hal ini.
Biar kita tunggu apa langkah mereka menyikapi permainan di balik layar kasus Sisminbakum ini. Semoga saja para pendekar Satgas Mafia Hukum bentukan Presiden SBY, juga mau menyelidiki mafia orang dalam di Kejaksaan Agung itu.
Pihak Tutut mengaku kaget dan terheran-heran, mengapa kasus Sisminbakum akhirnya melibatkan saya dan beberapa mantan pejabat Departemen Kehakiman dan HAM, yang tak ada urusan sedikitpun dengan bisnis keluarga Suharto. Padahal sasaran mereka sebenarnya Hartono Tanoesoedibyo, kakak kandung Harry Tanoesoedibyo yang sekarang menguasai TPI, RCTI dan Bimantara.
Khusus mengenai diri saya, bukan mustahil ada sejumlah agenda politik yang bermain. Mereka tambah terkejut, ketika saya melawan, masalah ini melebar ke mana-mana, sampai ke persoalan keabsahan Jaksa Agung yang berpotensi menampar muka Presiden SBY, sampai desakan yang makin menguat untuk mengadili Wapres Boediono yang diduga terlibat Megaskandal Bank Century, yang berdasarkan audit BPK nyata-nyata merugikan negara 6,7 trilyun.
Achmad Ali boleh saja menuding apa yang saya tuliskan ini hanya bualan kosong belaka untuk mengalihkan persoalan ke persoalan lain. Itu semua terserah beliau. Orang bijak dan berhati lurus akan mendengarkan segala sesuatu dari berbagai sumber, baru mengambil kesimpulan.
Berbeda halnya dengan orang fasik dan penuh kecongkakan, akan selalu menggunakan sumber sepihak yang sesuai dengan hawa nafsunya, karena yang penting bagi mereka bukanlah kebenaran. Tapi bagaimana menunjukkan "kehebatan" diri ke tengah orang banyak, dengan cara semena-mena menyerang dan memojokkan orang lain.
Perkara Sisminbakum belum final, Achmad Ali. Tiga terdakwa, belum ada satupun yang telah inkracht putusannya. Johannes Woworuntu sedang mengajukan PK karena menemukan sejumlah kejanggalan penerapan dan pertimbangan hukum dalam putusan kasasi. Sebaiknya Achmad Ali bersabar dulu, tidak perlu menggebu-gebu menyerang dan memojokkan saya.
Saya tak pernah mengatakan bahwa UUD 45, KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum zalim. Namun, bukan mustahil kezaliman bermain dibalik semua aturan-aturan hukum itu. Saya tak pernah menghasut orang untuk melawan terhadap hukum yang berlaku.
Namun benar, saya mengajari orang untuk melawan penegak hukum yang tidak sah kalau mereka mau menegakkan hukum. Jangan pula anda meremehkan saya karena "akan sangat berat nantinya adinda (sic!) Yusril untuk menyanggah di persidangan pengadilan, bahwa proyek Sisminbakum bukan korupsi".
Saya akan melawan dengan cara saya sendiri dengan bukti-bukti dan argumentasi saya sendiri untuk membantah semua itu. Saya tak perlu belajar dengan Achmad Ali, dan tidak perlu beliau ajari. Saya takan berguru kepada Achmad Ali, yang merengek-rengek supaya dibebaskan dari tahanan, ketika dinyatakan sebagai tersangka korupsi uang PNBP program pascasarjana Unhas dan manipulasi biaya perjalanan dinas (SPPD).
Lebih baik saya mati berdiri daripada membungkuk kepada kezaliman. Saya berkeyakinan bahwa saya tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi yang konon merugikan uang negara sejumlah 420 miliar itu. Untuk itu saya takkan berhenti melawan, sampai suatu ketika segala permainan pat gulipat di belakang kasus ini terkuak ke permukaan. Saya akan berperang melawan kezaliman.
Sungguh keliru, Achmad Ali mengutip Surah Al-Maidah 33 dan mengaitkannya kepada saya, seolah saya koruptor yang melakukan kerusakan di muka bumi yang harus dihukum dengan ayat tersebut. Padahal, ayat itu menyuruh umat Islam untuk berperang melawan mereka yang mendustakan Allah dan RasulNya dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Mereka yang menggunakan mempermainkan isu korupsi, padahal mereka sendiri bejat dan korup, itulah yang harus diperangi berdasarkan Surah Al-Maidah itu. Achmad Ali tega-teganya memutar-balikkan ayat Alquran tanpa memahami asbabun Nuzulnya serta keterangan para mufassir yang mu'tabar mengenai maksud ayat tersebut dalam konteks Hukum Jinayat Islam.
Kalau ayat Alquran saja berani-beraninya diputar balikkan maksudnya oleh Achmad Ali, apalagi hukum duniawi ciptaan manusia. Tentu Achmad Ali dengan lebih enteng memutar-balikkannya untuk memberikan justifikasi kepada keinginan dan hawa-nafsunya sendiri. Na'udzubika min dzalik!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas merupakan serangkaian berita yang termuat dalam Koran fajar yang berisikan tentang pertentangan antara Prof. AA dan Yusril Ihza Mahendra mengenai kasus korupsi yang membelit yusril. Tulisan-tulisan diatas saya kira itu tidak menyentuh subtansi mengenai kasus tersebut, melainkan bisa dijadikan suatu pengalihan issue agar kasus ini menjadi pertentangan antara Prof.AA dan Yusril. Media jangan dijadikan tempat perang wacana pembenaran bersikap, melainkan sebagai sarana informasi buat masyarakat untuk mengetahui lebih jelas mengenai kasus korupsi Sisminbakum..??